Judul :
Si Gila dari Muara Bondet
Penulis :
Djair Warni
Alih Versi ke Novel :
Syahlendra Maulana
Penerbit :
Buah Hati, 2016
Jumlah
halaman : 90
halaman
Si Gila dari Muara Bondet, begitulah
judulnya. Merupakan salah satu kisah serial Jaka Sembung. Ebook yang telah
dibaca ini, bukan dalam versi aslinya komik. Tapi sudah diubah menjadi versi
novel.
Kisah diawali oleh Parmin; nama asli Jaka
Sembung yang memasuki daerah pedalaman hutan. Di tengah perjalanan, merasa
haus, oleh karenanya dia mempercepat langkah dan mampir di sebuah warung.
Di dekat warung inilah, dia melihat sosok
pria berambut panjang tak beraturan membawa sebuah peti mati. Tak lama setelah
itu, pria yang dianggap gila itu dikeroyok 4 orang pendekar. Tapi dalam waktu
singkat dapat mengalahkan tiga lawannya. Lawannya yang terakhir pun dapat
ditaklukkan setelah memakan beberapa waktu.
Kemampuan silatnya inilah yang membuat
Parmin penasaran. Jurus pedangnya lain dari yang lain. Kemampuan meringankan
tubuhnya, juga luar biasa. Parmin pun mengikutinya.
Parmin pun berkenalan dengan orang ‘gila’
itu yang belakangan diketahui bernama Karta.
Kisahnya sederhana. Flashback kisah
Karta. Parmin berkelahi dengan beberapa orang lagi dan selesai.
Tapi yang menarik dari cerita ini, sosok
Parmin alias Jaka Sembung, benar-benar digambarkan sebagai tokoh yang taat pada
agamanya. Di cerita ini diceritakan, Parmin menjamak sholat Maghrib dan Isya.
Keesokkan harinya, dia menunaikan sholat Subuh. Hal menarik lainnya adalah
nuansa perjuangan melawan penjajah terasa sekali. Parmin dan Karta berpisah
dengan tugas masing-masing menghimpun para pendekar untuk melawan para
penjajah.
Penggambaran sosok Jaka Sembung
benar-benar luar biasa. Sampai-sampai banyak orang menyangka bahwa Jaka Sembung
itu benar-benar ada. Padahal Djair sebagai creator Jaka Sembung, tahu pasti
jika sosok ‘anak kandungnya’ itu murni rekaan belaka, alias fiksi yang diangkat
dan dibangun dari berbagai kejadian nyata yang melatarbelakangi kelahirannya.
Dalam artian, “Saya hanya meminjam sejarah resmi, untuk kemudian saya jadikan
latar ceritanya,” katanya. (kompasiana.com)
Pak Djair lahir di
tahun 1945 (dilain versi lahir tahun 1949), otomatis dia mengalami bagaimana
Agresi Belanda pertama di tahun 1947 dan juga Agresi Belanda kedua di tahun
1949. Walau mungkin tidak merasakan langsung kesengsaraan dijajah Belanda
(sebelum proklamasi), karena dia lahir di tahun diproklamirkannya Indonesia,
namun dia dekat dengan orang-orang yang merasakan kesengsaraanya dijajah.
Sehingga Djair memperoleh langsung informasi dari ‘tangan pertama’.
Membuat setting
waktu dalam penceritaan akan lebih mudah bila dialami sendiri. Masih dianggap
mudah, bila memiliki sumber-sumber langsung dan dekat yang dapat menceritakan
kondisi suatu waktu di masa lampau yang tidak dialami sendiri. Di luar itu
semua akan terasa lebih sulit dan perlu adanya effort yang lebih.
Agatha Christie
menulis dimulai dua tahun setelah Perang Dunia 1 dan banyak menulis di masa
Perang Dunia 2 (perang yang terjadi di 1939-1945), sehingga setting waktu yang
digunakan tidak lepas dari kondisi waktu itu.
Sumber image:
http://duniaabukeisel.blogspot.co.id