Judul Resensi; Buatlah Orang Tuamu Bangga
Judul Buku; Si Anak Kampoeng
Penulis: Damien Dematra
Penerbit; Gramedia
Halaman: 248 hal
Ada yang sudah baca buku “Si Anak Kampoeng”
karya Damien Dematra? Buku ini menceritakan tentang kisah nyata masa kecil dari
Buya Syafii Maarif.
Di dalam buku ini dijelaskan bahwa Pi’I,
panggilan kesayangan untuk Buya Syafi’I tinggal di desa Calau, 2 km dari Nagari
Sumpur Kudus yang terletak di Bukit Barisan, sekitar 150 km dari kota Padang.
Desanya ini terpencil. Jika di tahun 1940-an,
desa-desa di Indonesia sudah banyak dialiri listrik. Desa Calau baru dialiri
listrik pada tahun 2005. Di sekitar tahun 1947-1950, desa ini tidak terlalu
terjamah oleh penjajah yang masih melakukan agresinya di Indonesia. Bisa
dikatakan relative aman. Bahkan surau yang dibangun oleh Ma’rifah, ayah Pi’I
dijadikan tempat pemancar radio.
Walau demikian dampak dari peperangan juga
terasa di desa Calau. Anak-anak terpaksa berhenti bersekolah, termasuk Pi’I dan
sahabat-sahabat kecilnya, Hasan, Julai, Makdiah dan Zainal.
Kekacauan dan penjarahan pun terjadi di sana.
Jangankan memikirkan sekolah, memikirkan untuk bertahan hidup saja sulit.
Masing-masing temannya berjuang.
Buku yang menggambarkan kondisi desa yang
terpencil, indah dan bila malam tiba terdengar auman harimau. Sungai-sungainya
masih layak untuk dijadikan ajang berenang dan berperahu.
Kehidupan kecil Pi’I, tidak jauh berbeda
dengan anak-anak kecil seusianya dimana pun berada. Ada saja kondisi yang
memaksakan dirinya harus berkelahi. Dia bersama keempat temannya berkelahi
melawan anak-anak Sumpur Kudus yang sombong dan merasa sebagai anak kota.
Penggambaran karakter masing-masing teman
Pi’I, cukup jelas. Hasan, termasuk anak yang pintar. Namun dia seorang yang
penakut. Makdiah walau gemar berkelahi, ternyata memiliki hati yang halus. Dia
amat sayang dengan ibunya yang sakit-sakitan.
Julai termasuk salah seorang sahabat dekat
Pi’I. Masa kecilnya agak ‘terganggu’, karena ibu dan ayahnya kerap bertengkar.
Bertengkar karena dipicu oleh rasa cemburu ibunya dan gossip yang tidak jelas.
Orang tua Julai nyaris bercerai.
Sementara Zainal, walau usianya tidak terpaut
jauh dengan Pi’I, namun dia terhitung sebagai salah seorang keponakan Pi’i.
Karena ibu Zainal merupakan kakak tertua dari Pi’i.
Pi’I dikenal sebagai anak terpandai di
kelasnya. Teman-temannya mengakui itu. Bahkan gurunya menawarkan Pi’I untuk
lompat kelas.
Pada awalnya, buku ini terasa tidak menarik. Karena
hampir tidak ada konfliknya. Halaman demi halaman dibuka dan terasa datar saja.
Namun di bagian-bagian akhir baru terlihat ‘makna’ dan ‘hikmah’ di balik kisah
masa kecil Buya Syafi’i.
Ma’rifah, ayah Pi’I sangat sayang pada
putranya ini. Dia harus merelakan putranya untuk melanjutkan pendidikannya di
negeri rantau, di tanah Jawa, tepatnya di Yogyakarta. Dia harus menunjukkan
rasa sayangnya dengan cara yang lain, dengan merelakan kepergian putranya demi
tekad untuk melanjutkan pendidikan.
Pi’I pun harus menguatkan niat dan tekadnya
melanjutkan pendidikan dengan konsekwensi harus berpisah dengan ayahnya yang
amat disayangi dan banggakan.
Bagian-bagian akhir buku ini, seakan
menyimpulkan halaman-halaman sebelumnya. Sehingga halaman yang sebelumnya
terasa datar dan hambar, baru terasa manis, pahit dan getirnya ketika memasuki
halaman-halaman penghujung.
Karena di halaman penghujung inilah, pembaca
‘dipaksa’ untuk membayangkan kembali betapa sayangnya Ma’rifah pada putranya.
Dan dia menyatakan bangga pada putranya itu.
Di halaman-halaman penghujung itulah, Pi’I
diuji untuk kembali membulatkan tekadnya. Tekadnya yang ingin membuat ayahnya
bangga.
Buku ini terdiri dari 200-an halaman, dibagi
menjadi 20-an bab. Disajikan dengan pilihan huruf yang nyaman untuk dibaca,
diselingi dengan istilah-istilah khas Padang.
Buku ini sepertinya cocok bagi mereka yang
ingin merenungkan kembali jasa-jasa orang tua. Serta apa saja yang telah
diperbuat anak hingga orang tuanya dapat menjadi bangga.
sumber image:http://4.bp.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar