Rabu, 21 Mei 2014

Hikari No Michi





Membicarakan perihal muallaf bukan merupakan hal yang baru. Kita dapat menemui kisah mereka di buku, kaset dan bahkan ada sebuah situs yang sering kali membahas perihal mereka.

Membaca buku Hikari No Michi ini dapat menyadarkan bahwa sesuatu hal yang biasa bagi seorang muslim, di mata non muslim menjadi sesuatu yang luar biasa dan bisa dianggap aneh. Sebut saja Abe Yukie-san. Dia seorang wanita Jepang yang tinggal di Fukoaka.

Di sebelah sekolahnya, sewaktu duduk di SMU, kebetulan banyak pekerja latihan yang berasal dari Indonesia, Bangladesh dan Malaysia yang sedang belajar bahasa Jepang. Abe berteman dengan mereka

Dia heran kenapa semua temannya itu tidak makan daging babi? Mengapa para wanita muslimah mengenakan jilbab, padahal pada saat itu hari sedang panas?

Inilah yang memancing untuk mengetahui apa itu Islam? Akhirnya di tahun 2000, Abe Yukie-san membaca 2 kalimat syahadat di sebuah masjid kecil di Jakarta dan berganti nama menjadi Yukie Khairun Nisa’ Abe. Suatu proses pengenalan, belajar dan pencarian yang cukup gigih. Dia menghabiskan waktu 6 tahun, hingga memutuskan untuk masuk Islam.

Di bagian lain terdapat kisah Abe alias Berhilda seorang mahasiswa dari Indonesia yang meneruskan kuliahnya di Kyoto Seika University. Banyak orang yang sangsi jika ternyata Abe memilih Islam sebagai agamanya. Pasalnya, ayahnya salah seorang anggota tim perumus kurikulum pendidikan agama Kristen Katolik se-Indonesia.

Ibunya salah satu anggota majelis gereja yang aktif mengurus penyebaran agama Kristen.

Tapi ternyata dugaan itu keliru. Abe memilih Islam sebagai agamanya. Ternyata setahun sebelum memeluk Islam, Abe telah berlatih puasa. Dia juga sudah mulai mengubah pola makannya. Mulai menjauhi makanan-makanan yang diharamkan dalam Islam.

Lain halnya dengan Yuki-san. Wanita Jepang ini amat tertarik mempelajari Islam. Dia sering berdiskusi dengan teman-teman muslimnya mengenai Islam. Dia amat menjaga makanannya. Tidak ingin mengonsumsi babi dan sake. Yuki-san seringkali hadir dalam kajian Islam.

Yuki-san ingin sekali menikah dengan orang Indonesia dan muslim. Namun sangat disayangkan, Yuki-san yang selama ini tekun mempelajari Islam harus berakhir menikah dengan seorang pastor. Sungguh sangat disayangkan, hidayah itu terlepas.

3 kisah di atas menunjukkan bahwa hidayah itu mahal, tidak bisa diberikan kepada siapa pun. Tentu kita masih ingat dengan paman Rasulullah, Abu Thalib. Hingga akhir hayatnya, tetap berstatus kafir. Allah berfirman, ”Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al-Qashash (28):56)

Informasi tentang Islam banyak berasal dari sumber-sumber barat. Di mata Sinji, Islam adalah agama teroris.

”Dulu kalau mendengar tentang Islam, saya takut sekali. Yang terbayang itu peperangan, ” katanya sambil bergidik.

Hingga pada suatu ketika, Sinji berkesempatan pergi ke Surabaya dalam rangka pertukaran budaya. Di sana, Sinji mempelajari Islam dari seorang ustadz.

Sinji merasa ajaran Islam banyak yang cocok dengan dirinya. Ketika mempelajari rukun Islam, Sinji begitu kagum. Ternyata ajaran Islam adalah ajaran yang benar. Ajaran ini begitu memperhatikan nasib orang-orang yang tidak berdaya. Seperti perintah berzakat dan berpuasa. Ajaran Islam juga banyak yang sejalan dengan nilai traditional Jepang, seperti etos kerja, kebersihan, kejujuran dan perlakuan sama derajat.

Setelah sebulan belajar Islam di Surabaya, Sinji pun membulatkan tekad untuk masuk Islam.

Kisah Sinji ini membuktikan bahwa Allah tetap menyempurnakan cahaya Islam, walaupun orang-orang kafir benci. Allah berfirman, ”Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS Ash-Shaff (61):8)

Kisah Abdussalam yang peranakan Jepang dan Indonesia amat menarik. Setelah memeluk Islam, dia bersedia menginfakkan uang yang begitu banyak. Dia membawa uang sebanyak 15 ribu Yen. Ongkos pulang pergi menghabiskan uang sebesar 4 ribu yen, sisa 11 ribu yen.

Pada saat itu, dia sedang mengantarkan orang-orang Indonesia JICA ke bandara Narita. Abdussalam mengajak mereka untuk makan di restoran, karena mereka belum makan. Biaya dikeluarkan untuk makan sebesar 10.300 yen

Sehingga sewaktu pulang ke Ueno, dia hanya mengantongi uang 700 yen saja. Ketika akan keluar dari Ueno eki, ia melihat seorang muslimah Mesir kerepotan dengan bawaannya, maka ia pun menawarkan bantuan untuk mengangkatkan barang-barang.

Kemudian muslimah tersebut bertanya, ”Ongkos ke Saitama berapa ya?” Rupanya muslimah tersebut berniat pergi ke Saitama, tapi hanya punya seribu yen dan ternyata ongkos ke sana sebesar 1700 yen. Abdussalam pun merogoh sakunya dan memberikan 700 yen yang dimilikinya kepada muslimah itu.

Para pembaca mau tahu apa balasan Allah kepada Abdussalam? Coba cari tahu kisahnya di buku ini.

Dibandingkan dengan buku yang berjudul Atamanna An Akuuna Shahabiyyan, sebuah buku yang membahas tentang para muallaf, buku Hikari No Michi memiliki kelebihan.

Karena buku Atamanna An Akuuna Shahabiyyan berisi kisah para muallaf dari berbagai negara. Sehingga kondisi negara masing-masing muallaf tidak dibahas.

Berbeda dengan buku Hikari No Michi. Buku ini khusus membahas mengenai para muallaf Jepang, beserta kondisi udara, sikap warga Jepang terhadap agama secara umum dan terhadap Islam secara khusus. Di buku ini juga dibahas letak masjid-masjid yang ada di Jepang, serta toko-toko yang menjual makanan dan minuman halal.


Di buku ini juga dibahas mengenai tips sebagai seorang muslim di Jepang, seperti;
a. Usahakan keluar rumah dalam kondisi suci atau masih mempunyai wudhu’ sehingga jika berada di luar rumah tidak bingung berwudhu’
b. Selalu membawa sajadah atau alas untuk shalat
c. Selalu membawa kompas supaya mudah mencari arah kiblat.
Informasi-informasi ini amat penting, terutama bagi kaum muslimin yang akan meneruskan pendidikan atau bekerja di Jepang.

Sebagai seorang muslim -membaca buku ini-, kita dapat berkaca, bagaimana tekun dan seriusnya muallaf Jepang dalam mempelajari dan mempraktekkan ajaran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar