Membicarakan perihal
muallaf bukan merupakan hal yang baru. Kita dapat menemui kisah mereka di buku,
kaset dan bahkan ada sebuah situs yang sering kali membahas perihal mereka.
Membaca buku Hikari No Michi ini dapat menyadarkan bahwa sesuatu hal yang biasa bagi seorang muslim, di mata non muslim menjadi sesuatu yang luar biasa dan bisa dianggap aneh. Sebut saja Abe Yukie-san. Dia seorang wanita Jepang yang tinggal di Fukoaka.
Di sebelah sekolahnya, sewaktu duduk di SMU, kebetulan banyak pekerja latihan yang berasal dari Indonesia, Bangladesh dan Malaysia yang sedang belajar bahasa Jepang. Abe berteman dengan mereka
Dia heran kenapa semua
temannya itu tidak makan daging babi? Mengapa para wanita muslimah mengenakan
jilbab, padahal pada saat itu hari sedang panas?
Inilah yang memancing untuk mengetahui apa itu Islam? Akhirnya di tahun 2000, Abe Yukie-san membaca 2 kalimat syahadat di sebuah masjid kecil di Jakarta dan berganti nama menjadi Yukie Khairun Nisa’ Abe. Suatu proses pengenalan, belajar dan pencarian yang cukup gigih. Dia menghabiskan waktu 6 tahun, hingga memutuskan untuk masuk Islam.
Di bagian lain terdapat kisah Abe alias Berhilda seorang mahasiswa dari Indonesia yang meneruskan kuliahnya di Kyoto Seika University. Banyak orang yang sangsi jika ternyata Abe memilih Islam sebagai agamanya. Pasalnya, ayahnya salah seorang anggota tim perumus kurikulum pendidikan agama Kristen Katolik se-Indonesia.
Ibunya salah satu anggota majelis gereja yang aktif mengurus penyebaran agama Kristen.
Tapi ternyata dugaan itu keliru. Abe memilih Islam sebagai agamanya. Ternyata setahun sebelum memeluk Islam, Abe telah berlatih puasa. Dia juga sudah mulai mengubah pola makannya. Mulai menjauhi makanan-makanan yang diharamkan dalam Islam.
Lain halnya dengan Yuki-san. Wanita Jepang ini amat tertarik mempelajari Islam. Dia sering berdiskusi dengan teman-teman muslimnya mengenai Islam. Dia amat menjaga makanannya. Tidak ingin mengonsumsi babi dan sake. Yuki-san seringkali hadir dalam kajian Islam.
Yuki-san ingin sekali
menikah dengan orang Indonesia dan muslim. Namun sangat disayangkan, Yuki-san
yang selama ini tekun mempelajari Islam harus berakhir menikah dengan seorang
pastor. Sungguh sangat disayangkan, hidayah itu terlepas.
3 kisah di atas
menunjukkan bahwa hidayah itu mahal, tidak bisa diberikan kepada siapa pun.
Tentu kita masih ingat dengan paman Rasulullah, Abu Thalib. Hingga akhir
hayatnya, tetap berstatus kafir. Allah berfirman, ”Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al-Qashash (28):56)
Informasi tentang Islam
banyak berasal dari sumber-sumber barat. Di mata Sinji, Islam adalah agama
teroris.
”Dulu kalau mendengar
tentang Islam, saya takut sekali. Yang terbayang itu peperangan, ” katanya
sambil bergidik.
Hingga pada suatu ketika,
Sinji berkesempatan pergi ke Surabaya dalam rangka pertukaran budaya. Di sana,
Sinji mempelajari Islam dari seorang ustadz.
Sinji merasa ajaran Islam
banyak yang cocok dengan dirinya. Ketika mempelajari rukun Islam, Sinji begitu
kagum. Ternyata ajaran Islam adalah ajaran yang benar. Ajaran ini begitu
memperhatikan nasib orang-orang yang tidak berdaya. Seperti perintah berzakat
dan berpuasa. Ajaran Islam juga banyak yang sejalan dengan nilai traditional
Jepang, seperti etos kerja, kebersihan, kejujuran dan perlakuan sama derajat.
Setelah sebulan belajar
Islam di Surabaya, Sinji pun membulatkan tekad untuk masuk Islam.
Kisah Sinji ini membuktikan bahwa Allah tetap menyempurnakan cahaya Islam, walaupun orang-orang kafir benci. Allah berfirman, ”Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS Ash-Shaff (61):8)
Kisah Abdussalam yang
peranakan Jepang dan Indonesia amat menarik. Setelah memeluk Islam, dia
bersedia menginfakkan uang yang begitu banyak. Dia membawa uang sebanyak 15
ribu Yen. Ongkos pulang pergi menghabiskan uang sebesar 4 ribu yen, sisa 11
ribu yen.
Pada saat itu, dia sedang
mengantarkan orang-orang Indonesia JICA ke bandara Narita. Abdussalam mengajak
mereka untuk makan di restoran, karena mereka belum makan. Biaya dikeluarkan
untuk makan sebesar 10.300 yen
Sehingga sewaktu pulang ke
Ueno, dia hanya mengantongi uang 700 yen saja. Ketika akan keluar dari Ueno
eki, ia melihat seorang muslimah Mesir kerepotan dengan bawaannya, maka ia pun
menawarkan bantuan untuk mengangkatkan barang-barang.
Kemudian muslimah tersebut
bertanya, ”Ongkos ke Saitama berapa ya?” Rupanya muslimah tersebut berniat
pergi ke Saitama, tapi hanya punya seribu yen dan ternyata ongkos ke sana
sebesar 1700 yen. Abdussalam pun merogoh sakunya dan memberikan 700 yen yang
dimilikinya kepada muslimah itu.
Para pembaca mau tahu apa balasan Allah kepada Abdussalam? Coba cari tahu kisahnya di buku ini.
Dibandingkan dengan buku yang berjudul Atamanna An Akuuna Shahabiyyan, sebuah buku yang membahas tentang para muallaf, buku Hikari No Michi memiliki kelebihan.
Karena buku Atamanna An
Akuuna Shahabiyyan berisi kisah para muallaf dari berbagai negara. Sehingga
kondisi negara masing-masing muallaf tidak dibahas.
Berbeda dengan buku Hikari
No Michi. Buku ini khusus membahas mengenai para muallaf Jepang, beserta
kondisi udara, sikap warga Jepang terhadap agama secara umum dan terhadap Islam
secara khusus. Di buku ini juga dibahas letak masjid-masjid yang ada di Jepang,
serta toko-toko yang menjual makanan dan minuman halal.
Di buku ini juga dibahas mengenai tips sebagai seorang
muslim di Jepang, seperti;
a. Usahakan keluar rumah dalam kondisi suci atau masih mempunyai wudhu’ sehingga jika berada di luar rumah tidak bingung berwudhu’
b. Selalu membawa sajadah atau alas untuk shalat
c. Selalu membawa kompas supaya mudah mencari arah kiblat.
Informasi-informasi ini amat penting, terutama bagi kaum muslimin yang akan meneruskan pendidikan atau bekerja di Jepang.
a. Usahakan keluar rumah dalam kondisi suci atau masih mempunyai wudhu’ sehingga jika berada di luar rumah tidak bingung berwudhu’
b. Selalu membawa sajadah atau alas untuk shalat
c. Selalu membawa kompas supaya mudah mencari arah kiblat.
Informasi-informasi ini amat penting, terutama bagi kaum muslimin yang akan meneruskan pendidikan atau bekerja di Jepang.
Sebagai seorang muslim
-membaca buku ini-, kita dapat berkaca, bagaimana tekun dan seriusnya muallaf
Jepang dalam mempelajari dan mempraktekkan ajaran Islam.
Sumber image:floriayasmin.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar